Wonosobo dan Kebebasan

Foto: jepretan Neng Tika di kedai Cat and Fish Kaohsiung
Biarlah burung elang selalu bertengger di atas sana, yang jelas diriku ini akan setia menjalani proses di sini sembari menikmati pahit manisnya cita rasa kopi. Perkenalkanlah saya seorang anak kecil yang takut kalau kehidupan semakin meronakan tangis, tangis, dan tangis saja. Wonosobo merupakan kotaku, kota tercinta dengan sebegitu banyaknya masalah, begitu banyaknya cerita, serta begitu banyaknya keindahan alam yang ada. Engkau tahu, “The Golden Sunrise?”Exactly! itu berasal dari dari daerah Dieng. Iya kebanyakan orang lebih tahu Dieng daripada Wonosobo, mungkin bisa saya perjelas, Dieng itu di Wonosobo, walau ada beberapa daerah dari Dieng itu yang masuk dalam daerah Banjar Negara, namun kebanyakan keindahan alam dan keragaman budaya yang dimiliki Dieng termasuk dalam daerah Wonosobo. Jadi sudah jelas ya, Dieng itu di Wonosobo!
                Kalau dari gubukku ke Dieng  yang terletak di desa Kalisuren, SurenGede, Kertek, itu berjarak 2 jam perjalanan menggunakan motor, kalau lancar. Tapi tunggu dulu, mungkin persepsi orang akan Dieng itu berbeda-beda. Sejauh yang saya ketahui dan saya pelajari dalam beberapa literasi yang ada, Dieng merupakan sebuah daerah dataran tinggi yang ada di perbatasan Wonosobo dan Banjarnegara.
                Bersumber dari buku Ritual Cukur Rambut Gimbal:2015, Dieng berasal dari bahasa Sansekerta yaitu, “di”yang artinya “ardi”, “redi”atau gunung atau tempat yang tinggi dan ultim (esoterik) serta “di”yang bermakna “hadi”, “adi” atu indah tersebut. Sementara “eng” yang merupakan bagian dari kata “aeng” yang berarti suatu yang “nyeleneh”, dan “Di Hyang”atau tempat para Hyang atau khayangan atau tempat para dewa-dewa atau ruh leluhur. Singkatnya, daerah pegunungan yang di huni oleh para dewa.
                Begitulah eloknya cerita tentang Dieng, sampai kebanyakan bisa tahu yang dinamakan Dieng, sedang kalau ditanya Wonosobo itu apa dan di mana, orang-orang akan kesusahan menjawabnya, bahkan tidak tahu sama sekali. “Wonosobo iku di Jawa bagian mana Mas?” Begitu kebanyakan orang bertanya ketika aku mulai bercerita aku siapa. Kalau saja peraturan terbaru bola tidak memakai metode VAR (Video Assistant Referee) mungkin saya akan langsung sleding orang yang bertanya perihal tersebut, dengan sebelumnya saya mengawasi apakah wasit sedang lengah atau tidak, begitu!
                “Mas nya tahu Dieng?”
                “Tahu mas, iya yang kemarin habis ada kegiatan DCF (Dieng Culture Festival) itu kan ya?”
                “Sebelum aku menjawabnya, perkenankan saya bertanya dulu. Ini mumpung nggak ada wasit, VAR-nya sudah mati kan?” dalam waktu tersebut diriku ini sudah mengambil kuda-kuda untuk melakukan sleding. Sleding!
                “Loh Mas, TIDAK!” orang tersebut kemudian merintih kesakitan dan menyesal. Ini dalam bayangku saja.
                “Nah Wonosobo itu di Dieng,” menggunakan nada yang agak meninggi.
                “Nah lo, Eh kebalik Mas,” seraya kutarik omonganku tadi. Muka bayikupun kembali tersemburatkan, merah, marah, lalu tersipu malu dan padam!
                “Dieng itu di Wonosobo Mas.”
                Itulah prespektif kebanyakan orang tentang Dieng, ah iya Wonosobo. Yang justru lebih terkenal Diengnya daripada Wonosobo itu sendiri. Mungkin ini yang bisa dikatakan “bener tapi ora pener” memang benar pemerintah Wonosobo itu mengenalkan Dieng dengan berbagai potensinya, namun tidak penernya karena mereka melupakan untuk mengenalkan Wonosobo. Hanya menggapai tujuan prestis mereka, namun melupakan hal yang Fundamental. Yang penting Dieng terkenal, masalah Wonosobo nanti dulu, bagaikan yang penting terkenal dulu, masalah pondasi hidup itu nanti dulu. Bukan begitu? – itu sedikit prespektif saya selaku anak kecil dari Wonosobo.
                Sahaya jebolan dari UNS tahun 2017, tidak berani saya bilang lulusan, karena banyak senior saya yang jebol secara administrasi namun lulus secara substantif. Saya tidak mengikuti kegiatan UKM ataupun organisasi yang di dalam kampus, saya juga tidak tahu kenapa. Yang jelas, karena saya lebih memilih di luar daripada di dalam, kalau disuruh milih begitu. Namun, mungkin antara ditolak dengan menolak itu beda tipis, antara ditolak untuk masuk organisasi internal atau menolak untuk bergabung dengan organisasi internal itu juga. Beda tipis! Perihal ini saya dapatkan dari senior juga, salam ta’dim untuk para senior!
                Berangkat dari dunia sosial, saya suka memlihat rona asli kehidupan, ekspresi rakyat di pinggir jalan, senyam-senyum sendiri, namun, tanpa sadar, aku ternyata melihat dalam cermin atas diriku sendiri. Hingga akupun ingin mengabadikan momen tersebut. Setelah membeli pirantinya, ternyata pikiranku berkecamuk. “Kamu mau jadi aktor apa mau jadi malaikat yang selamanya hanya bertugas untuk menghitung dan menjadi suruhan?” Akhirnya, akupun tiada bisa menjawab pertanyaan itu, hingga akupun dibantu malaikat dalam menjawab hal tersebut, malaikat waktu yang menjawabnya.
                 “Kamu makhluk mesin yang tersesat dalam dunia sosial humaniora!” Celetuk salah satu teman Lab. Bahasa waktu itu.
                “Tidak, akulah makhluk sosial!” Bentakku lantang, dalam hati.
                Dalam perantauanku ke Solo, diriku ini menemukan sebuah kebebasan. Kebebasan yang haqiqi, karena di sana aku bisa menghargai yang namanya sepi serta menikmati kesendirian. Memaknai kehidupan dengan berbagai macam-cara hingga melahirkan senyum dalam berbagai keadaan. Indah bukan?
                Hingga berjumpalah pada suatu keadaan, dalam diriku membaca sebuah cerita orang dalam tulisannya, bahwa di salah satu desa yang juga menjadi tempat tinggal Simbah (sebutan untuk kakek-nenek) ada sebuah potensi yang sudah dibuktikan oleh sejarah, “Slukatan mempunyai kopi yang pernah menjadi primadona pada masanya dulu.” Perhatian saya terfokus pada kata primadona, namun primadonanya tidak ada berita kemudian, seperti putri tidur saja!
                Mencari referensi-referensi yang ada, melalui ceritera, melalui dongen yang tersebar, melalui literasi-literasi yang ada. Sampai diriku sampai pada kesimpulan, “walaupun memang tidak ada bukti kongkrit dan ada tulisan yang jelas, mungkin apa salahnya diriku ini mencoba untuk mengangkat perihal ini.”  Biarlah malaikat waktu yang membuktikannya.
                “Bi! Nderek tanglet, teng Slukatan niku onten kopi mboten?”
                “Wah nembe wae dipaneni, wis di borong kae karo tengkulak!”
                “Aduh!!!” tiada angin apapun kemudian diriku mengumpat kepada diriku.
                “La niki kopine di tumbas sinten Bi?!” Nadaku sedikit meninggi karena begitu penasarannya.
                “Di borong karo manten lurahe Kae…. La prige ana apa Zed?” nada biasa.
                “Anu, kula maos kalih tanglet rencang-rencang kui, Slukatan gadhah kopi sik turene pernah dadi primadona dalam zaman penjajahan dulu….” Mulailai diriku mulai berceritera latar belakangku kenapa diriku ini berapi-api waktu itu, dan sewaktu itu.
                “Wah, paling nek pengen nyoba langsung wae njejal nang nyempil nang mantene. Kene juga ora mudeng cara mroses sik bener kayangapa soale!” ada nada semangat dalam beliau berkata.
                “Oh nggih. Nggih matur nuwun Bi!” Sugesti itupun masuk kedalam sanubari, tanpa sebuah penyaringan sedikitpun.
                Sesegera mungkin, diriku ini menentukan tanggal untuk liburan dan pulang kampung ke Wonosobo. Menentukan tanggal libur bekerja part time di Kafe Spidernet Corner yang juga week end guna menyesuaikan libur kuliah.
                Akhirnya, sampailah diriku ini pada sebuah tempat. Mini pabrik pengolahan kopi, kalau orang kopi biasanya bilang tempat buat proses kopi, tempatnya prosesor kopi. Melihat biji kopi, hijau, dengan butiran-butiran yang sangat indahnya. Terdapat biji kopi yang masih merah- dari biji sampai kulitnya komplit dijemur, ada juga yang sudah hijau-biji kopi yang sudah dikupas kulitnya. Melihat tersebut, diriku sudahlah sangat berbahagia. Sebelum aku masuk ke dalam rumah manten itu, diriku ini sudah disuguhi dengan pemandangan yang begitu indah. Nian indahnya ketika sebuah cerita berakhir bahagia.

                “Kula nuwun Pak. Kula nuwun. Kula nuwun!!!” Keras dan lantang suara dan ketukan saya.


share with URL ^_^ . Keep Reading >> http://MedanSuar4.blogspot.com/

Comments

Popular posts from this blog

Indonesia, Taiwan, dan Mahasiswa

Burung Kuning Terbang Indah Sekali