Panggil Saja....




Perkenalkan sudara! Ini, yang digambar ini merupakan seorang lelaki. Berasal dari Wonosobo, kota yang konon merupakan negeri di atas awan-kononlah begitu. Dikiranya cukup belajar di Wonosobo, sudahlah tentu perlu untuk belajar ditempat lain. Beranjak ke Sala, Solo, Surakarta, konon juga kota ini merupakan kiblat dari kebudayaan jawa bebarengan dengan Yogyakarta-kononlah karena saya belum membacanya. Tuhanlah yang menakdirkan cukup atau tidaknya dia belajar di Solo, ketika di Solo sedang terjadinya kemelud yang begitu dahsyat, saya terusir dari Solo. Ada perihal yang harus saya pelajari, kemudian saya aksi-kan.

Kekalau dia suka berceloteh merupakan suatu kewajaran, dia lebih suka dengan berbaur dengan yang lain-bukan makhluk lain. Terkadang celotehnya keterlaluan, itulah dia, sang receh. Celotehnya dia lakukan karena terkadang dia tidak bisa merelakan perihal yang sudah lalu, hingga dia tidak berceloteh dengan ikhlas. Sejak mengenyam pendidikan Sekolah Menengah Pertama di salah satu Kecamatan di Wonosobo yang bernama Kertek, lingkup keluarganya sangatlah tidak teratur. Ibarat setiap saat itu terdapat gelas kaca yang terletak di ujung/di sudut meja, ketika ada getaran sedikit, pecahlah itu, hingga kemudian bisa tercipta pasar seketika-yang jelas pasar ini merupakan pasar tradisionalnya yang punya harga masih bisa dinego.
Katanya, dia suka berceloteh dengan tulisan. Padahal tiada yang tahu menahu tulisannya seperti apa, lah tulisankan pakai tangan, sedangkan yang sering kita baca di media ialah hasil ketikan. Apa itu bisa disebut dengan tulisan? Hmmm. Perkara menembus media itu memanglah susah-sulit, walaupun pikirannya tiada sebatas eksistensial (pingin nampang) namun tetaplah media susah ditembus, media sekarang sudah tidak bisa dipegang nyatanya. Berawal dari kisah, katanya, dia ingin mendirikan media sendiri. “Lah buat? Caranya gimana? Dipegang saja tiada bisa?” celetuk teman karib celotehannya. 

Perihal cita-cita, sering ia sebutkan untuk menjadi “Supermen! Ironmen! Habibie!” begitu semangatnya hampir-hampir dia menyentuh gelas yang berada di ujung meja tadi. Dari kejauhan sana, ada yang mendengar dan menyergah sambil berlari mendekat, “hati-hati, supermen kalau kehilangan su-nya akan jadi permen, dan kalau kehilangan permennya tinggal su yang tidak manis. Ironmen, kalau ditambah kad didepannya nanti menyindir simbah kita dengan hikayat kadiron. Sedangkan kalau Habibie, kalau terlalu banyak nanya Ha? Nanti tidak genap itu dan tidak jelas orangnya, maka siapa itu bibie kemudian? Ha?” Keduanya, kemudian berkelana lagi dengan celoteh-celoteh yang lainnya. Dengan muka merah si pemuda ini yang terlanjur merah dengan ejekan cita-citanya yang rendah.

 Setiba di Solo, dia menjadi semakin pemuram kembali. Teman celotehnya berubah menjadi suatu kemuraman, perkara dia pernah mencintai tapi cintanya itu bermuram warna kisahnya. Ibarat Layla dengan Majnun sesampai si Majnun menjadi gilalah, bedanya, dia tidak mau menjadi gila laiknya Majnun. “Janganlah gila dulu, masihlah diri ini harus hadir dalam kehadiran jasad yang sebatang ini!” begitu pegang kuat dirinya, walaupun dalam pergantian siang dan malam tiada dia nikmati dengan sebetul-betulnya waktu yang ada. Satu hari adalah 24 jam, sedangkan menurutnya satu hari adalah sebuah kebebasan atas keniscayaan hidupnya, yang hanya ia nikmati sewaktu dalam alam mimpinya yang sedari pukul 1 sesampai dengan pukul 4. “Hidup bukan masalah meratap! Keterbatasan bukanlah menjadi alasan, namun merupakan batu loncatan untuk menggapai tujuan!” lantang juga keras! HIDUP RAKYAT INDONESIA, sambung penulis.

Tiadalah genap dia melalui proses itu. “Janganlah berlama-lama meratap, biarlah semuanya mengarungi lelajuannya, let it flow, let it go,” seorang pujangga dari Solo memberi komentar.  “Memang tiadalah genap kamu akan menetap di sini, perkara hampir genap itu tetaplah tidak genap! Lihatlah kedepan, tetap tatap apa yang ada didepanmu, and also stay focus!” sambungnya tercampur dengan celoteh, karena hampirlah 4 tahun mereka berdua berhubungan. “Hanyalah sayang yang dapat aku lantunkan dari kejauhan kawan!” sembari sedikit menangis, tapi tiada basah yang tercipta, perih tapi tidak berdarah!

Dalam setiap kroniknya, dia akan selalu mengirim kesemuanya, teman-temannya, karibnya, musuhnya, cintanya, dengan tulisan penuh kasih sayang. Walaupun dia sejak dari pikirannya yakin akan hal ini, “Pemaknaan kata kasih dan sayang orang-perorangan jelaslah berbeda, sebagaimana apa yang hadir dalam dirinya, aku begitu mengilhaminya, namun selagi itu memiliki nilai. Iya nilai.” Dengan ini dia kemudian melanjutkan kata kasih dengan cinta, “cinta, iya aku cinta padamu, terdapat 4 wanita yang begitu ia cintai dengan tulus pada waktunya”. 

Sekarang dia sedang menghadirkan diri di negara kecil namun maju, Taiwan. Dia kemudian bertemu dengan teman karibnya lagi, teman lama yang hadir kembali, yang sewaktu kecil ia temui dan berkisahlah banyak kemudian. Oh cinta berlanjut dengan cinta kemudian, “karena aku cinta padamu, tolong jangan beberkan rahasia bahwa aku pernah mencintai 4 orang dalam hidupku ini, karibku. Yang sekarang masihlah menetap itu kesemuanya, dengan sekarang yang masih dipikiran tinggal 2.” Pada pagi hari dia ceritakan ini kepada penulis, sedang maksud dari “cinta padamu” ialah “percaya padamu”. “Aku berjanji untuk tidak menceritakan rahasiamu kawan!” sambung penulis kemudian.

Dormitory 20 April 2018


 tags: #cerpen #seni #karya #mahasiswa #kemelud #wonosobo #solo #indonesia #taiwan #tulisan

share with URL ^_^ . Keep Reading >> http://MedanSuar4.blogspot.com/

Comments

Popular posts from this blog

Wonosobo dan Kebebasan

Indonesia, Taiwan, dan Mahasiswa

Burung Kuning Terbang Indah Sekali